Materi Al-Qur'an

Berisi tentang materi Al-Qur'an beserta perangkatnya.

Materi Hadist

Pelajaran tentang Hadist beserta perangkatnya.

Materi Sirah

Berisi tentang Sirah Sahabat dan cerita hikmah.

Tampilkan postingan dengan label Sahabat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sahabat. Tampilkan semua postingan

Rabu, 19 Juli 2023

Sejarah Tahun Hijriyah : Refleksi Memasuki Tahun Baru Hijriyah 1445

Amirul Mukminin Umar bin Khattab pada suatu hari menerima surat-surat dari gubernur dari wilayah kekuasaan Islam. Setelah dibaca ternyata dua surat itu dikirim oleh satu orang yang sama, yaitu seorang gubernur yang hendak memberi kabar pada beliau sebagai kepala negara.

Sang gubernur sejatinya mengirim surat-surat itu pada tanggal dan bulan yang berbeda, namun entah mengapa keduanya datang bersamaan. 

Di sisi lain, Amirul Mukminin juga kebingungan manakah sebenarnya yang pertama dikirimkan dan mana pula yang kedua? Sebab tak ada tahun yang tertulis pada kedua surat itu.

Atas insiden tersebut maka terbetiklah sebuah gagasan agar kaum muslimin memiliki penanggalan tahun, sehingga kejadian seperti ini tak terulang lagi. 

Beliau lantas mengumpulkan para sahabat dan meminta pendapat dari kapan perhitungan tahunnya umat Islam ini hendak dimulai.

Aneka pendapat diajukan. Ada yang kemukakan ide agar tahun satu itu dimulai pada tahun kelahiran Rasulullah. Ide lain yaitu tahun Isra Miraj. Ada pula yang berpendapat tahun wafatnya Rasulullah.

Dari semua prakarsa tersebut, ternyata buah pikiran Sahabat Ali yang diterima. Yaitu memulai perhitungan dari peristiwa pembangunan masjid Quba yang terjadi saat Rasulullah hijrah. Di sinilah kecerdasan Sahabat Ali terbukti. Rupanya beliau berlandaskan kepada Surat At-Taubah ayat 108,

لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ

Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama adalah lebih patut kamu salat di dalamnya.

Penyebutan awwali yaumin (hari pertama) dalam ayat di atas adalah isyarat dari Allah bahwa peristiwa tersebutlah yang pantas untuk menjadi tahun pertama dalam hitungan yang akan dimulai itu. 

Pula, kalimat sebelumnya adalah takwa, juga mengandung makna bahwa setiap manusia barulah dianggap menjadi hamba untuk tahun pertamanya jika ia sudah bertakwa dengan sebenar-benarnya. 

Maka dahulu ada seorang kakek ditanya oleh Khalifah Umar tentang berapakah usianya. Lalu sang kakek menjawab bahwa ia baru berusia empat tahun! 

Khalifah bertanya lagi apa maksud jawaban tersebut. Lantas sang kakek menjawab kembali, karena baru empat tahun yang lalu ia bertakwa di jalan Allah dengan sesungguh-sungguhnya. Sehingga ia menganggap seolah-olah empat tahun silam itu adalah tahun pertamanya sebagai hamba. 

Maka jika pertanyaan ini ditujukan kepada kita, berapa tahun usia kita sejatinya? 

Memasuki tahun baru kali ini, marilah kita maknai tahun baru kali ini dengan tekad kuat untuk memperbaiki ketakwaan kita kepada Allah. Karena tahun Hijriah berkaitan dengan takwa. 

Al Malangi 1 Muharram 1445 H.





Selasa, 27 Juni 2023

Hanzhalah bin Abu Amir Suami Dambaan Para Bidadari

Mekkah menggelegak terbakar kebencian terhadap orang-orang Muslim karena kekalahan mereka di Perang Badar dan terbunuhnya sekian banyak pemimpin dan bangsawan mereka saat itu. 

Hati mereka membara dibakar keinginan untuk menuntut balas. 

Bahkan karenanya Quraisy melarang semua penduduk Mekah meratapi para korban di Badar dan tidak perlu terburu-buru menebus para tawanan, agar orang-orang Muslim tidak merasa di atas angin karena tahu kegundahan dan kesedihan hati mereka.

Hingga tibalah saatnya Perang Uhud. 

Diantara pahlawan perang yang bertempur tanpa mengenal rasa takut pada waktu itu adalah Hanzhalah bin Abu Amir. Nama lengkapnya Hanzhalah bin Abu ‘Amir bin Shaifi bin Malik bin Umayyah bin Dhabi’ah bin Zaid bin Uaf bin Amru bin Auf bin Malik al-Aus al-Anshory al-Ausy. 

Pada masa jahiliyah ayahnya dikenal sebagai seorang pendeta, namanya Amru.

Suatu hari ayahnya ditanya mengenai kedatangan Nabi dan sifatnya hingga ketika datang, orang-orang dengan mudahnya dapat mengenalnya. 

Ayahnya pun menyebutkan apa yang ditanyakan. 

Bahkan secara terang-terangan dirinya akan beriman dengan kenabian itu. 

Ketika Allah turunkan Islam di jazirah Arab untuk menuntun jalan kebenaran melalui nabi terakhir. 

Justru dirinya mengingkarinya. Bahkan dirinya hasud dengan kenabian Muhammad. Tak lama kemudian Allah bukakan hati anaknya, Hanzhalah untuk menerima kebenaran yang dibawa Rasulullah. Sejak itulah jiwa dan raganya untuk perjuangan Islam.

Kebencian ayahnya terhadap Rasulullah membuat darahnya naik turun. Bahkan meminta izin Rasulullah untuk membunuhnya. Tapi Rasulullah tidak mengizinkan. Sejak itulah keyakinan akan kebenaran ajaran Islam semakin menancap di relung hatinya. 

Seluruh waktunya digunakan untuk menimba ilmu dari Rasulullah.

Di tengah kesibukkannya mengikuti da’wah Rasulullah yang penuh dinamika, tak terasa usia telah menghantarkannya untuk memasuki fase kehidupan berumah tangga. 

Di samping untuk melakukan regenerasi, tentu ada nikmat karunia Allah yang tak mungkin terlewatkan.

Hanzhalah menikahi Jamilah binti Abdullah bin Ubay bin Sahlul, anak sahabat bapaknya. Mertuanya itu dikenal sebagai tokoh munafik, menyembunyikan kekafiran dan menampakkan keimanan. 

Dia berpura-pura membela Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam Perang Uhud; namun ketika rombongan pasukan muslim bergerak ke medan laga, ia menarik diri bersama orang-orangnya, kembali ke Madinah.

Sementara itu Madinah dalam keadaan siaga penuh. 

Kaum muslimin sudah mencium gelagat dan gerak-gerik rencana penyerangan oleh pasukan Abu Shufyan. Situasi Madinah sangat genting.

Namun walau dalam situasi seperti itu, Hanzhalah dengan tenang hati dan penuh keyakinan akan melangsungkan pernikahannya. 

Sungguh tindakannya itu merupakan gambaran sosok yang senantiassa tenang menghadapi berbagai macam keadaan.

Hanzhalah menikahi Jamilah, sang kekasih, pada suatu malam yang paginya akan berlangsung peperangan di Uhud. Ia meminta izin kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam untuk bermalam bersama istrinya. Ia tidak tahu persis apakah itu pertemuan atau perpisahan. Nabi pun mengizinkannya bermalam bersama istri yang baru saja dinikahinya.

Mereka memang baru saja menjalin sebuah ikatan. Memadu segala rasa dari dua lautan jiwa. Berjanji, menjaga bahtera tak akan karam walau kelak badai garang menghadang. 

Kini, dunia seakan menjadi milik berdua. Malam pertama yang selalu panjang bagi setiap mempelai dilalui dengan penuh mesra. Tak diharapkannya pagi segera menjelang. Segala gemuruh hasrat tertumpah. Sebab, sesuatu yang haram telah menjadi halal.

Langit begitu mempesona. 

Kerlip gemintang bagaikan menggoda rembulan yang sedang kasmaran. Keheningannya menjamu temaramnya rembulan, diukirnya do’a-do’a dengan goresan harapan, khusyu’, berharap regukan kasih sayang dari Sang Pemilik Cinta. Hingga tubuh penat itupun bangkit, menatap belahan jiwa dengan tatapan cinta. Hingga, sepasang manusia itu semakin dimabuk kepayang.

Indah…Sungguh sebuah episode yang teramat indah untuk dilewatkan.

Namun disaat sang pengantin asyik terbuai wanginya aroma asmara, seruan jihad berkumandang dan menghampiri gendang telinganya.

“Hayya ‘alal jihad… hayya ‘alal jihad…!!!”

Pemuda yang belum lama menikmati indahnya malam pertama itu tersentak. Jiwanya sontak terbakar karena ghirah. 

Suara itu terdengar sangat tajam menusuk telinganya dan terasa menghunjam dalam di dadanya. Suara itu seolah-olah irama surgawi yang lama dinanti. 

Hanzalah harus mengeluarkan keputusan dengan cepat. Bersama dengan hembusan angin fajar pertama, Hanzhalah pun segera melepaskan pelukan diri dari sang istri.

Dia segera menghambur keluar, dia tidak menunda lagi keberangkatannya, supaya ia bisa mandi terlebih dahulu. Istrinya meneguhkan tekadnya untuk keluar menyambut seruan jihad sambil memohon kepada Allah agar suaminya diberi anugerah salah satu dari dua kebaikan, menang atau mati syahid,

Dia berangkat diiringi deraian air mata kekasih yang dicintainya. Ia berangkat dengan kerinduan mengisi relung hatinya. Kerinduan saat-saat pertama yang sebelumnya sangat dinantikannya, saat mereka berdua terikat dalam jalinan suci. Namun semua itu berlalu bagaikan mimpi. Hanzalahpun akhirnya berangkat menuju medan laga untuk memenangkan cinta yang lebih besar atas segalanya. 

Bahkan untuk meraih kemenangan atas dirinya sendiri. Kenikmatan yang bagai tuangan anggur memabukkan tak akan membuatnya terlena. Sehingga, iringan do’alah yang mengantar kepergiannya ke medan jihad. Dia bergegas mengambil peralatan perang yang memang telah lama dipersiapkan. Baju perang membalut badan, sebilah pedang terselip dipinggang. 

Siap bergabung dengan pasukan yang dipimpin Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Berperang bersama Hamzah, Abu Dujanah, Zubair, Muhajirin dan Anshar yang terus berperang dengan yel-yel, seolah tak ada lagi yang bisa menahan mereka. Bulu-bulu putih pakaian Ali, surban merah Abu Dujanah, surban kuning Zubayr, surban hijau Hubab, melambai-lambai bagaikan bendera kemenangan, memberi kekuatan bagi barisan di belakangnya.

Tubuh Hanzhalah yang perkasa serta merta langsung berada di atas punggung kuda. Sambil membenahi posisinya di punggung kuda, tali kekang ditarik dan kuda melesat secepat kilat menuju barisan perang yang tengah bekecamuk. Tangannya yang kekar memainkan pedang dengan gerakan menebas dan menghentak, menimbulkan efek bak hempasané angin puting beliung.

Musuh datang bergulung, merimbas-rimbas, tak gentar, ia justru merangsek ke depan, menyibak, menerjang kecamuk perang. 

Nafasnya tersengal, torehan luka di badan sudah tak terbilang. Tujuan utama ingin berhadapan dengan komandan pasukan lawan. 

Serang! Musuhpun bergelimpangan.

Takbir bersahut-sahutan. Lantang membahana bagai halilintar. Berdentam. Mendesak-desak ke segenap penjuru langit. Hanzhalah terus melabrak.Terjangannya dahsyat laksana badai. Pedangnya berkelebat. Suaranya melenting-lenting. Kilap mengintai. Deras menebas. Berkali-kali orang Quraisy yang masih berkutat dalam lembah jahiliyah itu mati terbunuh di tangannya.

Sementara itu, dari kejauhan Abu Sufyan melihat lelaki yang gesit itu. Dia ingin sekali, mendekat dan membunuhnya, tetapi nyalinya belum juga cukup untuk membalaskan dendam kepada pembunuh anaknya di perang Badar itu. 

Situasi berbalik, kali ini giliran Hanzhalah mendekati Abu Sufyan ketika teman-temannya justru melarikan diri ketakutan. Abu Sufyan terpaksa melayaninya dalam duel satu lawan satu. 

Abu Sufyan terjatuh dari kudanya.Wajahnya pucat, ketakutan. Pedang Hanzhalah yang berkilauan siap merobek lehernya. 

Dalam hitungan detik, nyawanya akan melayang.Tapi, dalam suasana genting itu, Abu Sufyan berteriak minta tolong, 

“Hai orang-orang Quraisy, tolong aku.”

Namun, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Syadad bin Al-Aswad yang memang sudah disiagakan untuk menghabisi Hanzhalah, berhasil menelikung gerakan Hanzhalah dan menebas tengkuknya dari belakang. 

Tubuh yang gagah dan tegap itu jatuh berdebum ke tanah, boom!!! Para sahabat yang berada di sekitar dirinya mencoba untuk memberi pertolongan, namun langkah mereka terhenti.

Lantas orang-orang Quraisy di sekitarnya tanpa ampun mengayunkan pedangnya kepada Hanzhalah, dari kiri, kanan, dan belakang, sehingga Hanzhalah tersungkur. 

Dalam kondisi yang sudah parah, darah mengalir begitu deras dari tubuhnya, ia masih dihujani dengan lemparan tombak dari berbagai penjuru.

Tak lama kecamuk perang surut. 

Sepi memagut. Mendekap perih di banyak potongan tubuh yang tercerabut. 

Ia syahid di medan Uhud. Di sebuah gundukan tanah yang tampak masih basah, jasadnya terbujur.

Semburat cahaya terang dari langit membungkus jenazah Hanzhalah dan mengangkatnya ke angkasa setinggi rata-rata air mata memandang. Juga tejadi hujan lokal dan tubuhnya terbolak-balik seperti ada sesuatu yang hendak diratakan oleh air ke sekujur tubuh Hanzhalah. Bayang-bayang putih juga berkelebat mengiringi tetesan air hujan. Hujan mereda, cahaya terang padam diiringi kepergian bayang-bayang putih ke langit dan tubuh Hanzhalah kembali terjatuh dengan perlahan.

Subhanallah! Padahal sedari tadi hujan tak pernah turun mengguyur, setetes-pun. Para sahabat yang menyaksikan tak urung heran. Para sahabat kemudian membawa jenazah yang basah kuyup itu ke hadapan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan menceritakan tentang peristiwa yang mereka saksikan. Rasulullah meminta agar seseorang segera memanggil istri Hanzhalah.

Begitu wanita yang dimaksud tiba di hadapan Rasul, beliau menceritakan begini dan begini tentang Hanzhalah dan bertanya : “Apa yang telah dilakukan Hanzhalah sebelum kepergiannya ke medan perang?”

Wanita itu tertunduk. Rona pipinya memerah, dengan senyum tipis ia berkata: “Hanzhalah pergi dalam keadaan junub dan belum sempat mandi ya Rasulullah!”

Rasulullah kemudian berkata kepada yang hadir, “Ketahuilah oleh kalian. Bahwasannya jenazah Hanzhalah telah dimandikan oleh para malaikat. Bayang-bayang putih itu adalah istri-istrinya dari kalangan bidadari yang datang menjemputnya.”

Dengan malu-malu mereka (para bidadari) berkata ;“Wahai Hanzhalah, wahai suami kami. Lama kami telah menunggu pertemuan ini. Mari kita keperaduan.”

“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih?. (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya, niscaya Allah mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam surga ‘Adn. Itulah keberuntungan yang besar.” 

(Surat Ash-Shaff :10-12).



Sumber : ‘Yas’alunaka Fiddiini wal Hayaah’ yang diterjemahkan menjadi “Dialog Islam” karya Dr. Ahmad Asy-Syarbaasyi (dosen Universitas Al-Azhar, Cairo), Penerbit Zikir, Surabaya, 1997, cetakan pertama


Minggu, 31 Juli 2022

Fatimah Binti As’ad RA.

                    

‘’ Kupakaikan gamisku kepadanya agar dia bisa memakai pakaian surga ‘’ ( Muhammad Rasulullah Saw).

Shahabiyah yang teramat mulia. Allah memberikan banyak sifat mulia dan keistimewaan yang sama sekali belum terpikir oleh siapapun. Kiprahnya dalam proses perjuangan Islam terukir indah dalam sejarah.

Dialah wanita yang mendidik Rasulullah saw. Setelah Abdul Muthalib ( kakek Rasul ) meninggal dunia.

Dialah ibu dari pejuang gagah berani, Khalidha Rasidah keempat, Ali bin Abu Thalib ra.

Dialah nenek dari dua pemuda pemimpin para pemuda surga, Hasan ra. Dan Husain ra.

Dialah ibu dari pahlawan gagah berani yang gugur sebagai syahid dan lalu Rasullulah melihanya terbang dengan dua sayapnya di surga, satu dari tiga panglima perang Mu’tah, Ja’far bin Abu Thalib ra.

 Dia juga mertua dari wanita terbaik di zamannya, Fatimah binti Rasulullah saw.

Sungguh seorang wanita yang diberi banyak keistimewaan dan kelebihan. Dilah shahabiyah agung yang bernama Fatimah binti Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf  Al- Hasimiyah. Ibu dari Ali bin Abu Thalib ra. Dan ibu mertua Fatimah. Ia masuk Islam, ikut dalam rombongan pertama yang hijrah ke Madinah. Wanita dari Bani Hasyim yang melahirkan anak laki-laki bernasabkan Bani Hasyim.

Sejenak kita renungkan.

Sebelum kita lanjutan perjalanan indah ini, sengaja saya ajak pembaca sekalian untuk merenungkan kiprah penting shahabiyah mulia ini dalam usahanya memperjuangkan Islam.

Rasulullah saw. Pernah bersabda, ‘’Barang siapa menyiapkan seorang tentara ( untuk berperang ) di jalan Allah, maka dia sudah berperang. Dan barang siapa mengurus keluarga yang ditinggal perang dengan baik , maka dia sudah berperang pahalanya sama dengan pahala berperang secara langsung.

Riwayat lain menyebutkan, ‘’ Barang sipa menyipakn tentara ( untuk berperang ) di jalan Allah, maka ia mendapatkan pahala seperti yang di dapat oleh tentara itu, tanpa mengurangi sedikit pun pahala tentara tersebut.

Rasulullah juga bersabda, ‘’Aku dan pengurus anak yatim di surga, seperti ini, beliau menunjukkan jari telunjuk dan jari tengah dan merenggangkan dua jari itu.

Lantas, bagaimana dengan wanita yang mengurus anak yatim termulia dan teragung, yang tidak lain adalah Nabi kita sendiri; Muhammad saw. Dimana keyatiman beliau sekaligus mengangkat derajat semua anak yatim.

Pernahkah kita membayangkan kemuliaan shahabiyah agung ini, yang telah mengurus Nabi kita dengan sepenuh jiwa dan raga? Bahkan, nyawa pun rela ia pertarukan demi keselamatan Rasulullah.

Jika kita tahu bahwa dia adalah wanita dari suku Quraisy, maka keheranan kita sedikit terobati. Lihatlah predikat wanita Quraisy yangdisabdakan Nabi saw., ‘’ wanita Quraisy jago menunggang unta. Wanita Quraisy yang paling baik adalah yang paling sayang kepada anak kecil dan menjaga harta suami dengan baik’’

Dari sini kita mulai.

Setelah orang tua Nabi saw. Meninggal dunia, beliau dirawat oleh kakekknya ( Abdul Muthalib ) yang sangat menyayanginya. Tidak lama kemudian, Abdul Muthalib merasakan ajalnya sudah dekat, maka ia berpesan kepada anaknya untuk merawat Nabi saw dengan baik. Pilihan ia jatuh kepada Abu Thalib karena ayah Nabi ( Abdullah ) dan Abu Thalib adalah saudara seayah dan seibu. Selain itu, Abdul Muthalib merasakan bahwa istri Abu Thalib sangat penyayang. Maka yang bisa merawat Muhammad dengan penuh kasih sayang hanyalah wanita ini.

Akhirnya Abdul Muthalib meniggal dunia, dan Nabi pindah ke rumah Abu Thalib. Di rumah itu, Rasulullah mendapatkan wanita yang penuh kasih sayang, sehingga beliau merasakan bahwa wanita itu adalah ibu keduanya.

Fatimah binti As'ad ra. Merawat dan menjaga dengan penuh kasih sayang, bahkan melebihi anak kandungnya sendiri.

Berkah mulai dirasakan keluarga Abu Thalib.

Abu Thalib dan keluarganya hidup serba kekurangan. Anak-anak mereka tidak pernah makan sampai kenyang. Namun, setelah Nabi tinggal di rumah mereka, kondisi itu berubah. Terutama saat makan dan Nabi ikut makan bersama mereka. Makanan yang terlihathanya sedikit, namun bisa membuat kenyang semua anggota keluarga.

Jika mereka makan tanpa Nabi, mereka tidak merasa kenyang. Tapi, ketika Nabi ikut makan bersama mereka, mereka bisa merasa kenyang. Sehingga, ketika tiba waktu makan,Abu Thalib melarang seluruh anggota keluargamakan sebelum Nabi memulainya.

Jika mereka sedang minum susu, maka Nabi dipersilahkan minum susuitu terlebih dahulu. Meskipun susu itu hanya satu gelas, cukup untuk mengenyang seluruh anggota keluarga. Hingga Abu Thalib berkata kepada Nabi, ‘’ engkau anak yang diberkahi ‘’

Saat bangun tidur, anak-anak Abu Thalib mukanya kusut dan rambutnya awut-awutan. Berbeda dengan Nabi, beliau bangun tidur di pagi haridalam keadaan sudah rapi, bahkan ranbutnya sudah berminyak dan tersisir rapi.

Kasih sayang semakin bertambah.

Inilah berkah yang pertamakali ia rasakan oleh Fatimah binti Asad dalam keluarganya. Ia hampir tidak mempercayai apa yang ia lihat. Tapi itu semua nyata. Kini ia semakin sayang kepada Nabi hingga Nabi merasakan bahwa limpahan kasih sayang yang diberikan oleh Fatimah binti Asadadalah pengganti kasih sayangibunya yang sudah wafat.

Fatimah binti As'ad merawat Nabi sejak anak-anak hingga menjadi pemuda, dengan penuh kasih sayang dan kemuliaan. Hingga Nabi menikah dengan Khadijah.

Fatimah binti Asad sering mendengar apa yang dibicarakan orang-orang, juga dari suaminya ( Abu Thalib ) bahwa keponakannya itu diberi kemuliaan besar.

Ia juga mendengar berkah yang diterima Muhammad muda ketika pergi berdagangbersama suaminya ke Syam. Dari Maisarah ( laki-laki pembantu Khadijah ), ia juga mendengar sifat-sifat baik yang dimiliki Muhammad muda, saat menjalankan bisnis Khadijah ra  ke negeri Syam.

Permata hatinya di rumah Rasulullah saw.

Lihatlah bagaimana Fatimah binti Asad mendorong anaknya ( Ali bin Abu Thalib ) untuk tinggal bersama Rasulullah. Ia melihat Rasulullah sebagai ayah yang penuh kasih sayang. Ia juga melihat bahwa sebelum ini Rasulullah sangat perhatian kepada Ali.

Dikisahkan bahwa Fatimah binti As'ad berkata, ‘’ ketika bayi lahir, Rasulullah memberinya nama Ali. Lalu beliau meludah di mulutnya, memasukkan lidahnya ke mulut bayi itu. Bayi itu terus mengisap lidah Nabi hingga Ali tertidur. Esok harinya, kami mencarikan ibu susuan. Namun Ali tidak mau menerima sus wanita manapun.kami memanggil Rasulullah,beliau memasukkan lidahnya ke mulut Ali, lalu Ali mengisapnya hingga tertidur. Itulah kehendak Allah swt.

Sejarawan ibu Ishaq menulis, ‘’ Diantara nikmat dan kebaikan yang diberikan Allah kepada Ali ra. Adalah tercukupinya kebutuhannya, padahal Abu Thalib memiliki tanggungan keluarga yang cukup banyak. Ketika itu, orang-orang Quraisy ditimpa paceklik. Muhammad muda berkata kapada Abbas (satu dari pamannya) yang hidupnya kecukupan, ‘’ Paman Abbas, paman Abu Thalib memiliki tanggungan keluarga yang cukup banyak. Dan paman tahu, ini masa paceklik. Bagaimana kalau kita meringankan beban paman Abu Thalib. Aku menanggung satu anaknya, dan paman Abbas menanggung satu anaknya? ‘’Abbas setuju. Lalu mereka datang ke rumah Abu Thalib dan mengutarakan maksud kedatangan mereka. Abu Thalib setuju seraya berkata, ‘’ terima kasih atas kebaikan kalian. Silakan, pilih dari anak-anakku, asalkan jangan Aqil. ‘’

Muhammad muda memilih Ali dan Abbas memilih Ja’far. Ali tinggal di rumah Muhammad, hingga beliau diangkat menjadi Nabi, dan Ali langsung mengimani apa yang didakwahkan Rasulullah.

Kebahagiaan itu datang juga.

Detik-detik yang ditunggu oleh alam semesta akhirnya datang juga. Muhammad diutus sebagai Nabi untuk menyebarkan cahaya dan kebaikan. Muhammad diangkat sebagai Nabi untuk menyelamatkan manusia dari kehinaan syirik dan kekafiran.

Ketika Allah menurunkan firman-nya, ‘’ Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. ‘’ ( As-Syuara’ : 214 ), Rasulullah langsung menyeru keluarga beliau menuju kapada kebaikan  dunia dan akhirat. Dan Fatimah binti Asad termasuk orang-orang yang tanpa ragu mengikuti seruan Rasulullah. Ia ucapakan dua kalimat syahadat, ‘’ Laa Ilahaa Illallah, Muhammadur Rasulullah ‘’. Semangat dua kalimat syahadat mengalir ke setiap aliran darahnya. Sementara suaminya ( Abu Thalib ) meminta maaf karena belum bisa masuk Islam. Semua anak Fatimah masuk Islam, tidak ketinggalan Ali bin Abu Thalib.

Allah mengubah yang sulit menjadi mudah.

Fatimah binti Asad menjalani kehidupan baru. Kehidupan yang dengan penuh ketaatan kepada Allah dan Rasul-nya yang sejak kecil ia rawat dengan penuh kasih sayang. Ajaran-ajaran Islam ia terima dengan baik séhingga ia merasakan kebahagiaan yang selama ini belum penah ia rasakan.

Akan tetapi musuh-musuh Islam selalu mengintai kondisi kaum muslim. Mereka marah karena keyakinan mereka diusik. Mereka tumpahkan kemarahan mereka itu kepada kaum muslimin.

Ketika Rasulullah saw. Mengetahui penderitaan yang menimpa kaum muslimin, beliau mengizinkan mereka hijrah ke Habasyah. Di sinilah Fatimah binti As'ad di uji. Ia harus melepas kepergian Ja’far putranya yang diangkat sebagai ketua rombongan kaum muslimin yang hijrah ke Habasyah. Ia sedih berpisah dengan putranya, namun ia tetap tegar. Ja’far hijrah bersama istrinya.

Sadar upaya menghambat perkembangan Islam selama ini kurang membuahkan hasil, orang-orang Quraisy menempuh cara baru, yaitu dengan mengisolasi keluarga besar Bani Hasyim dari dunia luar. Orang-orang lain dilarang berhubungan dengan Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib. Kaum muslimin, termasuk Fatimah binti Asad, menghadapi pengucilan ini dengan sabar dan mengharap ridha Allah. Penderitaan yang dihadapi kaum muslimin sungguh sangat berat, hingga mereka makan dedaunan.

Akhirnya, orang-orang Quraisy sadar bahwa isolasi puntidak akan menggoyahkan keimana kaum muslimin, bahkan mereka menghadapi semua cobaan denag sabar. Orang-orang Quraisy takjub dengan ketegaran kaum wanita dan anak-anak muslim, padahal isolasi ini berlangsung selama tiga tahun.

Sejarawan Ibnu Sa’d menuturkan, ‘’ ketika orang-orang Quraisy mengetahui ketegaran kaum muslimin, mereka tertunduk lesu. Isolasi tiu berakhir pada tahun ke-7 kenabian.’’

Pada tahun ke-7 kenabian inilah, Ummul Mukmnin Khadijah ra. ( istri Rasul ) meninggal dunia. Kemudian disusul oleh ( Abu Thalib ) paman Rasul. Dua orang yang selama ini melindungi Rasulullah dari keganasan kaum kafir. Meniggalnya mereka, membuat kaum kafr semakin garang. Dan penderitaan kaum Muslimin semakin berat, hingga Allah mengizinkan kaum Muslimin hijrah ke Madinah.

Hijrah ke Madinah.

Rasulullah sudah mengizinkan kaum Muslimin untuk hijrah ke Madinah. Dan Fatimah Asad termasuk rombongan kaum Muslimin yang hijrah ke Madinah, meninggalkan harta benda miliknya di Makkah demi menyelamatkan iman dan akidahnya.

Di Madinah, Fatimah disambut oleh kaum Muslimah Madinah dengan baik. Hari demi hari, keimanan Fatimah semakin mantap.

Fatimah binti Asad di mata Rasulullah.

Nabi sangat sayang kepada Fatimah binti Asad, layaknya seorang anak dan ibunya. Beliau sering mengunjunginya dan memberi hadiah. Perhatian beliau kepada Fatimah separti perhatian Fatimah kepada beliau saat masih kecil.

Ali ra. Menceritakan, ‘’ Nabi memberiku kain brokat dan berkata, ‘ jadikan beberapa penutup kepala untuk para Fatimah.’ Lalu kujadikan empat penutup kepala. Satu untuk Fatimah putri Rasulullah, satu untuk Fatimah binti Asad, satu untuk Fatimah binti hamzah.’’ Ali tidak menyebut Fatimah yang keempat.

Fatimah binti Asad di mata para sahabat Nabi.

Fatimah binti  Asad ra. Sangat dihormati oleh para sahabat Nabi. Dalam sebuah syairnya, Hajjaj bin ‘Alath As-Salami memuji Ali bin Abu Thalib ra. Ketika membunuh Thalhah bin Abu Thalhah, pembawa panji pasukan kafir di perang Uhud. Dalam pujiannya itu, Hajjaj menyebut-nyebut ibunya Ali ra.

Lihatlah putra Fatimah di medan laga

Setiap pendosa takluk di hadapannya

Thalhah si pengibar bendera

Tersungkur di hadapannya

Sungguh, pedang telah engkau kibaskan

Menyingkirkan kebatilan dan meninggikan kebenaran

Pedang yang kau bawa terus berlumuran darah

Tak kan kau sarungkan sebelum hilang dahaganya

 Ibu mertua yang baik.

Setelah Ali bin Abu Thalib menikah dengan Fatimah putri Rasulullah, Fatimah binti Asad menjalankan tugas sebagai ibu kandung dan mertua dengan baik. Ia sangat sayang kepada menantunya. Bahkan, ia membantu Fatimah binti Muhammad dalam menyelesaikan tugas rumah tangga.

Ali ra menuturkan, ‘’ pernah berkata kepada ibuku ( Fatimah binti Asad ), ‘ biarkan Fatimah yang mengambil air dan berbelanja. Ibu yang menbuat tepung dan bubur.

Saatnya bepisah.

Fatimah binti Asad menjalani hidupini dengan bahagia dalam naungan iman dan tauhid. Ia rajin ibadah, shalat dan puasa. Hingga akhirnya ia kembali kepada sany pencipta.

Ia meninggal dan di makamkan di Madinah. Rasulullah sendiri yang masuk ke liang lahatnya dan menguburkannya. Sungguh satu kemuliannya tersendiri.

Sejarawan Samhudi menyebutkan bahwa Nabi tidak masuk ke liang lahat kecuali dalam lima kuburan; tiga perempuan dan dua laki-laki. Diantaranya adalahkuburan Khadijah ra. Di Makkah, dan empat lagi di Madinah; kuburan putra Khadijah yang diasuh oleh Rasulullah, kuburan Abdullah Al-Muzani, kuburan Ummu Ruman ( ibunya Ummul Mukminin Aisyah ra. ), dan kuburan Fatimah binti Asad.

Balas budi dan kemuliaan.

Beginilah kepribadian Rasulullah yang terkenal pandai balas budi.beliau tidak pernah melupakan jasa wanita shalihah yang merupakan ibu keduanya.beliau masuk ke liang lahat Fatimah binti Asad untuk menguburkannya dengan tangannya sendiri. Sungguh satu kehormatan tersendiri bagi Fatimah binti Asad.

Anas bin Malik menuturkan, ‘’ ketika Fatimah binti Asad bin Hasyim wafat, Rasulullah masuk ke tempat istirahatnya, lalu duduk di sebelah kepala dan berkata, ‘’ bu…., Allah merahmati ibu. Ibu adalah ibu keduaku. Ibu rela lapar untuk membuatku kenyang. Ibu rela berpakaian lusuh demi untuk mencarikanku pakaian yang layak. Ibu rela mengonsumsi makanan yang tidak enak demi memberiku makanan yang enak. Semua itu ibu lakukan untuk mecari ridha Allah dan kenikamatan di Akhirat.

Setelah itu, beliau menyuruh agar jenazah Fatimah dimandikan tiga kali. Ketika tiba giliran dimandikan dengan air yang bercampur kamper ( kapur barus ), beliau menyiramkannya sendiri. Lalu, beliau melepas gamisnya dan memakaikannya kepada Fatimah binti Asad, dan mengafaninya dengan burdah beliau. Setelah itu beliau memanggil Usamah bin Zaid, Abu Ayub Al-Anshari, Umar bin Khaththab dan seorang pemuda berkulit hitam untuk menggali kuburan. Mereka pun menggali kuburan. Ketika sudah sampai batas lahatnya, beliau yang meneruskan menggali dengan tangannya, dan mengeluarkan tanah dengan tangannya. Selesai menggali, beliau masuk liang lahat lalu rebahan di dalam kuburan itu, dan berkata, ‘’ Ya Allah yang menghidupkan dan mematikan, yang hidup dan tidak akan mati, ampunilah ibuku Fatimah binti Asad. Mudahkan jawabannya. Luaskan tempat masuknya,melalui hak Nabimu dan para Nabi sebelumku. Engkaulah yang Maha Pengasih. Beliau bertakbir untuknya empat kali, lau beliau dibantu Abbas ( paman beliau ) dan Abu Bakar memasukkannya ke liang lahat.

Ibnu Abbas ra. menuturkan, ‘’ ketika Fatimah ibunya Ali bin Abu Thalib wafat, Nabi melepas gamisnyadan memakaikannya kepadanya. Beliau rebahan di dalam kuburannya. Ketiak beliau menimbunnya dengan tanah, sebagian sahabat bertanya, ‘’ Ya Rasul, belum pernah engkau melakukan seperti ini.’’ Beliau menjawab, ‘’ gamisku kupakaikan kepada nya supaya dia memakai pakaian surga.’’ Aku rebahan di dalam kubur di sisinya agar dia diringkan dari tekanan kubur. Selain Abu Thalib, tiada yang lebih baik perlakuannya terhadapku daripada dia.

Semoga Allah meridhainya dan menjadikan surga Firdaus sebagai tempat tinggalnya.

            

Ditulis ulang dari 35 Sirah Shahabiyah

Oleh : Qois Syahida